KASUS PERKAWINAN IV: PERKAWINAN DENGAN FORMA KANONIK SAJA TANPA CATATAN SIPIL


Apakah sah sebuah perkawinan Katolik yang diteguhkan melalui tata peneguhan kanonik saja dan tidak dicatat dalam catatan sipil?
Pertama, Perkawinan sah (validum) dalam paham perkawinan Katolik ialah jika perkawinan antara suami dan istri itu dihadapan hukum kanonik atau secara yuridis memenuhi semua tuntutan hukum demi sahnya. Artinya perkawinan itu sendiri telah memenuhi semua ketentuan demi sahnya perkawinan, misalnya dipenuhinya unsur intrinsik yang fundamental dalam diri kedua mempelai untuk secara sungguh-sungguh (consensus verus), penuh (consensus plenus) dan bebas (consensus liber) mengadakan kesepakatan nikah, tidak adanya halangan-halangan nikah (hukum Ilahi maupun Gerejawi), dan dilaksanakan menurut tata peneguhan kanonik. Ataupun andaikata ada halangan-halangan nikah yang muncul (yang semata-mata Gerejawi), halangan itu sudah dimintakan dispensasi sebelum pernikahan diadakan, atau adanya dispensasi dari tata peneguhan kanonik dalam kasus partikular tertentu (Kan. 1127 § 2).
Kedua, Perkawinan tidak sah (invalidum) jika diteguhkan tanpa memenuhi unsur-unsur konstiftutif perkawinan Katolik tadi. Apabila dalam sebuah perkawinan ditemukan ada salah satu saja dari 3 unsur konstitutif tersebut yang tidak terpenuhi maka perkawinan itu tidak menciptakan ikatan perkawinan yang valid. Misalnya ada halangan yang tidak didispensasi, cacat kesepakatan nikah pada salah satu atau kedua pasangan, ataupun ketika perkawinan tidak dilakukan dalam forma peneguhan kanonik.
Ketiga, maka keabsahan sebuah perkawinan Katolik tidak mencakup unsur-unsur di luar dirinya (hukum gereja). Artinya pencatatan hukum sipil bukanlah unsur konstitutif yang melengkapi sederet ketentuan kanonik atas keabsahan perkawinan Katolik. Sehingga tanpa di catat di kantor catatan sipil pun, perkawinan yang sah oleh hukum kanonik itu tetap sah di hadapan Gereja.
Keempat, di sisi lain dalam aturan perkawinan sipil (UU Perkawinan RI 1974) dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya, di mata sipil pun, perkawinan Katolik yang hanya diteguhkan dalam forma kanonik saja tanpa dilanjutkan ke kantor catatan sipil juga tetap sah. Mengapa? Sebab di mata hukum RI unsur konstitutifnya ialah perkawinan sah berdasarkan ketentuan hukum agama/kepercayaan. Negara mempercayakan perkawinan itu sepenuhnya dalam kompetensi hukum agama.
Kelima, UU Perkawinan RI 1974 pasal 2 ayat 2 berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal ini berbicara soal kewajiban sebagai setiap warga negara. Sebagaimana perkawinan itu memiliki dua dimensi yakni sekaligus relaitas religius dan realitas sipil, maka Negara mengatur pula hal-hal yang perlu diatur berkaitan dengan relaitas perkawinan sebagai sebuah tindakan yang memiliki konsekuensi hukum. Maka pencatatan di kantor catatan sipil adalah sebuah kewajiban yang mengikat dan dikehendaki oleh hukum demi perlindungan perkawinan sebagai realitas yang diatur oleh hukum Negara. Bukan demi sahnya perkawinan!
Keenam, berkaitan dengan efek-efek sipil yang akan muncul dari sebuah perkawinan, maka Gereja mempercayakan pula perlindungan hukum sebagaimana yang diatur oleh UU sipil (bdk. Kan. 1071 §1, 2°). Maka sangat dianjurkan bahwa perkawinan yang diteguhkan itu sesegera mungkin dicatat di catatan sipil. Jika tidak tentu akan banyak konsekuensi hukum yang bisa saja muncul misalnya mengenai legitimitas anak/status yuridis anak (akta kelahiran), soal pekerjaan (gaji, pensiun, jaminan dll), harta waris, dan aneka tindakan administratif Negara lainnya. Ini diperlukan mengingat perkawinan mengubah status yuridis seseorang dimata hukum negara!

Kan. 1071 §1, 2°

Comments

Popular Posts