KASUS PERKAWINAN VII: PERKAWIAN KRISTEN PROTESTAN-SAKRAMEN?

Apakah perkawinan antara dua orang Kristen Protestan adalah sakramen? Apakah ada halangan jika salah satu dari mereka mau menikah lagi dengan seorang Katolik?
Pertama, Kan. 1055 § 1 diakhiri dengan kalimat, (perkawinan) antara orang-orang yang dibaptis,oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen. Dilanjutkan § 2, karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen. Perkawinan disebut sakramen adalah perkawinan sah antara dua orang yang dibaptis. Maka perlu digaris bawahi 2 hal yakni subjeknya sendiri yakni orang-orang yang dibaptis dan adanya kontrak perkawinan yang sah!
Kedua, berkaitan dengan subjek baptisan, kanon ini tidak mencantumkan embel-embel Katolik di belakang kata baptis. Jadi hukum kanonik juga memaksudkan mereka yang dibaptis sah diluar Gereja Katolik. Kanon ini tidak ekslusif menyebut perkawinan antara dua orang yang dibaptis Katolik saja. Artinya kanon ini harus ditafsirkan sebagaimana yang dimaksudkan dalam kata-katanya sendiri dan bisa di rujuk ke kan. 204 § 1 yang menyebut semua orang yang dibaptis adalah kaum beriman Kristiani yang diinkorporasikan pada Kristus sendiri. Maka perkawinan sakramen juga memaksudkan perkawinan antara semua orang Kristiani yang menerima baptisan secara sah.
Ketiga, perkawinan itu harus merupakan sebuah kontrak perkawinan yang sah. Jadi sakramen dan karakter sakramentalitasnya muncul karena dipenuhinya syarat-syarat yang dituntut demi keabsahannya. Jadi, kalau kesepakatan nikah yang dibuat oleh suami-istri itu tidak sah maka perjanjian itu tidak menciptakan sakramen, sekalipun terjadi antara dua orang yang dibaptis, sebab perkawinan yang invalidum menghasilkan perkawinan yang nullum. Bagaimana menilai sebuah perkawinan Kristen-Protestan sebagai sebuah perkawinan yang sah? Forma bersama yang ditetapkan sebagai sebuah hukum perkawinan yang universal di antara Gereja Reformis/Kristen Protestan kiranya tidak ada. Berbeda dengan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Mereka biasanya mengikuti pedoman umum yang dipakai masing-masing Gereja berdasarkan keputusan Majelis Gereja. Sejauh perkawinan itu diadakan dalam ketentuan hukum mereka, atau juga hukum sipil yang mereka anggap sebagai pedoman umum Gereja tertentu, maka Gereja Katolik memandang perkawinan mereka sah. Jadi, sah atau tidaknya perkawinan antara dua orang yang dibaptis dalam Gereja Kristen Protestan tergantung dari hukum perkawinan apa yang diakui oleh Gereja tersebut. Jika menurut ketetapan majelis Gereja atau Pedeta perkawinan itu sah, maka Gereja Katolik menghormatinya.
Keempat, Apabila unsur-unsur diatas dipenuhi, maka setiap perkawinan antara orang-orang yang dibaptis di luar Gereja Katolik juga terikat oleh Kan. 1141, bahwa perkawinan mereka mutlak tak terputuskan.
Kelima, jadi jika salah satu pasangan Kristen yang hendak menikah lagi dengan seorang Katolik, jika pasangan sebelumnya masih hidup, maka perkawinan mereka terhalang oleh halangan nikah sebelumnya (kan. 1085 § 1), dan perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Dan jikalau pun perkawinannya yang sebelumnya tidak sah atau telah diputus atas alasan apapun, pihak yang hendak menikah lagi tetap tidak boleh melangsungkan pernikahannya sampai ada kejelasan secara legitim dan pasti tentang nulitas perkawinan dan pemutusannya (mis. Privelegium) (bdk. § 2). Sedangkan apabila pasangan sebelumnya sudah meninggal dan sejauh tidak ada halangan lain yang mengikat, maka pernikahan bisa dilangsungkan dengan meminta izin kepada ordinaris untuk perkawinan beda Gereja (mixta religio).
Kan. 1055 § 1-2, kan. 204 § 1, Kan. 1141, kan. 1085 § 1-1

Comments

Popular Posts