Convalidatio Simplex (Konvalidasi Sederhana)


Konvalidasi sendiri adalah pengesahan atas sebuah perkawinan yang sejak semula tidak valid/sah. Keabsahan sebuah perkawinan Katolik ditopang oleh tiga unsur konstiftutif yang selalu harus terpenuhi (can. 1057 § 1); yakni materia sacramenti, forma sacramenti dan forma canonica.
1) Materia sacramenti: diadakan oleh seorang pria dan wanita yang secara hukum mampu mengadakan sebuah perkawinan (kan. 1057 §  1 dan 2) dan sejauh tidak dilarang oleh hukum, artinya tidak terhalang oleh halangan nikah gerejawi (ilahi-gerejawi) sebagaimana yang diatur dalam kan. 1083-1094.
2) Forma sacramenti: unsur intrinsik yang fundamental dalam diri kedua mempelai untuk secara sungguh-sungguh (consensus verus), penuh (consensus plenus) dan bebas (consensus liber) mengadakan kesepakatan nikah. Kesepakatan nikah adalah komponen yang paling konstitutif dan mendasar dalam sebuah perkawinan Katolik. Pada kesepakatan nikah itu, terjadilah tindakan internal-subjektif (suami-istri) untuk mengadakan sebuah consortium (persekutuan) seumur hidup (objek). 
3) Forma canonica: kesepakatan nikah harus dinyatakan dalam sebuah tata-peneguhan kanonik (can. 1108-1117) yakni dihadapan seorang peneguh yang sah sebagai saksi resmi (testis qualificus), mereka adalah ordinaris wilayah, pastor paroki atau imam/diakon yang mendapat delegasi yang sah, dan dihadapan 2 orang saksi sebagai saksi umum (testis communis). Setiap orang Katolik terkena dan terikat oleh forma canonica, bahkan jika salah satu pasangannya bukan Katolik.
Sebuah perkawinan yang kehilangan atau mengalami “cacat” salah satu (atau lebih) dari ketiga unsur konstitutif itu disebut perkawinan yang invalid-tidak sah (dikenal juga sebagai perkawinan putatif  kan. 1061§ 3). “Quod nullum est, nullum producit effectum” (apa yang tidak sah, tidak pernah menghasilkan efek yang sah). Akan tetapi Gereja sebagai promotor dan penjaga keutuhan serta kekudusan perkawinan selalu dengan serius mengutamakan bantuan untuk penyembuhannya (sanabilis; memvalidasi perkawinan) dari pada sekedar “menghakimi” dan membuat deklarasi nulitas perkawinan. (kan. 1676). Proses pengesahan perkawinan yang sejak semula invalid inilah yang disebut konvalidasi. Konvalidasi sendiri bisa dibagi lagi menjadi dua yakni convadito simplex dan sanatio in radice.

Konvalidasi sederhana/simplex/biasa adalah pengesahan perkawinan putatif alias tidak sah melalui proses yuridis sebagaimana sebuah perkawinan Katolik dilakukan dalam prosedur yang biasa baik dari sisi administratif maupun tata cara peneguhan (kan. 1156-1160). Terlebih dahulu harus dipastikan bahwa halangan yang menggagalkan  telah berhenti atau halangan-halangan itu telah didispensasi oleh kuasa eksekutif atau mereka yang didelegasikan oleh  otoritas gerejawi yang berwenang. Setelahnya, harus dilakukan renovatio consensus atau pembaharuan kesepakatan nikah sesuai kan. 1156 § 1. Pembaharuan kesepakatan nikah ini diadakan untuk menciptakan validitas atau keabsahan sebuah perkawinan (ad validatem). Oleh karenanya pembaharuan kesepakatan itu mutlak harus merupakan tindakan kehendak baru atas perkawinan tersebut (kan. 1157). Sebagai catatan: tidak semua konvalidasi simplex memerlukan renovatio consensus. Dalam kanon yang sama disebutkan bahwa pembaharuan kesepakatan nikah itu juga mungkin dilaksanakan sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan. Artinya, dimungkinkan salah satu dari pasangan yang tidak tahu adanya halangan dari perkawinan mereka dibebaskan dari renovatio consensus. Ini dimungkinkan oleh 1156 § 2, sejauh ia masih menyimpan serta berteguh pada kesepakatan nikah yang dibuatnya dulu dan tidak menarik kesepakatan itu kembali.  Renovatio consensus sifatnya semata-mata dituntut oleh hukum gerejawi, sehingga Gereja berhak membebaskan subjek hukum dari ketentuan yang dibuatnya dalam aneka kasus partikular.

Bilamana dan bagaimana konvalidasi simplex dilakukan? 
1. Bilamana. Harus diperhatikan terlebih dahulu, apakah akar dan sumber halangan bisa diselesaikan sebagaimana yang dituntut oleh kan. 1156 § 1. Jika ia, perlu dispesifikasi lagi:
A. Berkaitan dengan adanya impedimentum matrimonii -halangan nikah gerejawi (bukan ilahi atau kodrati), konvalidasi dilakukan apabila dipastikan perkawinan itu: mendapat dispensasi secara legitim (mis. memperoleh dispensasi atas perkawinan disparitas cultus, dispensasi atas halangan hubungan darah garis menyamping pada tingkat 3 dan 4, dispensasi bagi mantan imam, diakon, suster berkaul kekal yang terlah memperoleh laisasi dari Tahta Suci atas tahbisan tingkat I dan II atau indult keluar dari tarekat dan pembebasan atas kaul kemurnian yang sifatnya publik dan kekal bagi para religius, dll) atau ketika halangan sudah berhenti dengan sendirinya (mis. jika berkaitan dengan halangan umur, umur salah satu pasangan telah melewati batas minimal untuk menikah, kematian natural bagi suami atau istri sebelumnya) atau bisa juga terjadi halangan nikah berhenti atas proses/tindakan/intervensi dan kehendak bebas masing-masing pihak entah suami atau istri (mis. jika itu berkaitan dengan disparitas cultus, salah satu pasangan dalam perjalanan waktu menjadi anggota Gereja dan menerima pembaptisan, atau pasangan yang mengalami impotensi dan menjalani pengobatan menjadi sembuh total).
B. Jika berkaitan dengan adanya cacat pada kesepakatan nikah (defectus consensus) maka untuk menjadi sah pihak yang sadar akan adanya halangan kini memberikan kesepakatan yang baru sejauh kesepakatan pihak yang lain masih berlangsung (kan. 1159 § 1). Ia bisa membaharui kesepakatan nikah itu secara privat-rahasia jika cacatnya tidak bisa dibuktikan (internal-personal semata) atau jika bisa dibuktikan (tata-lahir) maka perlu dilakukan pembaharuan dalam tata peneguhan kanonik (kan. 1159 § 2-3). Misalnya salah satu pasangan dahulu ketika mengadakan kesepakatan nikah berada dibawah paksaan dan tekanan dari luar (eksternal) (kan 1103), apabila perkawinannya hendak disahkan secara yuridis-gerejawi maka harus dipastikan cacat kesepakatan itu sudah tidak ada lagi, bahwa ia sekarang dengan bebas, penuh dan sungguh hendak membuat konsensus yang baru.
C. Jika berkaitan dengan tidak dijalankannya forma canonica maka dituntut dilaksanakannya perkawinan menurut tata dan peneguhan kanonik Gereja Katolik (kan. 1160) atau dalam kasus partikular sekurangnya dimintakan dispensasi sebagaimana yang dinormakan dalam kan. 1121 § 3

Jika tidak, artinya halangan atau sumber penyebab invaliditas perkawinan masih ada, maka perkawinan tetap tidak bisa disahkan (insanabilis) baik dalam tataran hukum gerejawi apalagi hukum ilahi-kodrati. Biasanya ini terjadi dalam kasus-kasus partikular. Mis. halangan atas kan. 1091 § 1 pada perkawinan garis lurus ke atas dan bawah (entah sah atau natural), atau pada kasus lain ketika pasangan mantan imam belum memperoleh surat pembebasan dari status klerikalnya.
2. Bagaimana.  
A. Berkaitan dengan impedimentum matrimonii, dilaksanakan dengan (kan. 1158 § 1 dan 2):
- Jika halangan itu sifatnya publik dan bisa dibuktikan dalam tata-lahir (diketahui kedua pihak dan bahkan pihak lain/umum) dilakukan dalam tata peneguhan kanonik dengan tetap memperhatikan kan. 1127 § 2.
- Jika halangan itu tidak bisa dibuktikan entah oleh salah satu pasangan atau kedua-duanya (tersembunyi), maka cukup dilakukan pembaharuan kesepakatan secara privat dan rahasia. Privat berarti dilakukan dengan cara atau bentuk yang dianggap baik oleh  pelaksana. Rahasia mengandaikan dilakukan sendiri (atau berdua, jika keduanya), tanpa diketahui dan tanpa adanya keterlibatan pihak lain. Contoh dalam keheningan doa di hadapan Tuhan. Jika hanya diketahui satu pihak saja maka pihak yang sadar saja yang mengadakan pembaharuan, asal pihak lain masih bertahan dalam kesepakatan yang dulu dinyatakan.
B. Berkaitan dengan defectus consensus, dilaksanakan dengan (kan. 1159 § 2-3):
- Jika cacat kesepakatan nikah sifatnya tersembunyi, tidak dapat dibuktikan, berada dalam koridor tata-batin (internal-personal), maka pembaharuan cukup dilaksanakan oleh pihak yang mengalami cacat kesepakatan itu dan dilakukan secara rahasia dan privat.
- Jika cacat kesepakatan itu bisa dibuktikan dalam tata-lahir, maka dilaksanakan dalam tata peneguhan kanonik publik biasa.
C. Berkaitan dengan defectus forma, maka perkawinan putatif ini divalidasi dengan dilangsungkannya kembali pembaharuan baru melalui tata peneguhan kanonik dengan mengikuti prosedur (juga teknis-administratif) yang diatur dalam kan. 1108-1123.

Catatan tambahan:
1) Bila terjadi suatu halangan yang sifatnya tersembunyi (tata-batin) dan tidak bisa dibuktikan dalam tata-lahir, kemudian halangan itu berhenti, maka sebaiknya konvalidasi dilakukan secara privat.
2) Bisa juga terjadi dalam kasus partikular pastor parokilah yang tahu adanya invaliditas dari sebuah perkawinan sepasang suami-istri. Perlu bijak menanganinya, dan tidak perlu terburu-buru untuk mengkonvalidasi perkawinan yang tidak sah itu. Sebab hal ini kompleks, menyangkut banyak sisi dan dimensi pastoral-sosial. Apabila perkawinan yang tidak sah itu betul-betul mencerminkan sebuah perkawinan yang kuat (stabil) dan kedua pihak sungguh menghidupi perkawinan kristiani yang matang barulah dilakukan tindakan sejauh diperlukan. Misalnya mereka diundang secara pribadi untuk diberikan penjelasan atas masalah ini.
Dalam kasus dimana konvalidasi biasa sungguh terhalang dilakukan dalam alasan-alasan yang berat dan masuk akal, disediakan konvalidasi luar biasa yakni penyembuhan pada akar (sanatio in radice) sesuai ketentuan kan. 1161-1165.

Comments

Popular Posts