Anulatio Matrimonii (Anulasi Perkawinan)


Anulasi perkawinan adalah proses yuridis Gereja, yang dilakukan oleh Pengadilan Gerejawi melalui putusan tribunal yang berwenang, menyatakan bahwa sebuah perkawinan sejak awal tidak sah. Invaliditas ini lahir dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari tiga unsur konstituftif sebuah perkawinan Katolik. Artinya jika ditemukan: 1. Impedimentum matrimonii, adanya halangan nikah yang menggagalkan validitas perkawinan (halangan yang bersumber pada Hukum Ilahi dan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi) (kan. 1083-1094). 2. Defectus consensus, adanya ketidakmampuan atau cacat dalam kesepakatan nikah (kan. 1095-11079). 3. Defectus forme, adanya cacat dalam proses tata peneguhan perkawinan kanonik (forma canonica), (kan. 1108-1129).
Proses anulasi perkawinan adalah proses yuridis yang dilakukan oleh para hakim tribunal gerejawi untuk memastikan dengan pasti kebenaran objektif-yuridis, apakah sebuah perkawinan itu sejak awal sah atau tidak.  Maka, anulasi perkawinan dalam Gereja Katolik hanya mungkin dilakukan melalui jalur yudisial, dan hasil akhir dari sebuah proses anulasi ialah deklarasi publik yang menerangkan bahwa sejak semula sebuah perkawinan itu “nullum”, tidak ada. 
Deklarasi ini disebut deklarasi nulitas perkawinan (declaratio nullitatis). Inilah yang membedakan “anulasi” dan “perceraian”. Dalam perceraian fokus penyelidikan dilakukan dengan menyelidiki kehidupan perkawinan itu sendiri (matrimonio in facto esse). Pemutusan perkawinan terjadi dengan putusan normatif-yuridis bahwa perkawinan antara suami-istri itu bubar dan tidak ada lagi. Tidak peduli apakah sejak semula perkawinan itu sah atau tidak. Sebaliknya anulasi dalam deklarasi nulitas gerejawi memfokuskan penyelidikan secara kompleks pada saat perkawinan itu diteguhkan (matrimonio in fieri), bahkan juga menyelidiki aneka situasi sebelum perkawinan di teguhkan. 
Jadi Gereja tidak pernah memutus sebuah perkawinan sebagaimana seorang hakim pengadilan agama menyatakan secara difenitif sebuah perkawinan resmi bubar karena perceraian (akhir perkawinan). Melainkan sebaliknya, putusan hakim gerejawi hanya mengeluarkan sebuah pernyataan deklaratif bahwa sebuah perkawinan itu sejak awal (awal perkawinan) tidak sah (affirmative-pro nulitas) atau sah dan tidak bisa diganggu gugat (negative-pro validitas). Sebab Gereja memandang sebuah perkawinan sekaligus sebagai foedus-perjanjian-kontrak yang menciptakan consortium (persekutuan) seluruh hidup, apalagi jika terjadi antara orang-orang yang dibaptis di mana perkawinan itu dengan sendirinya adalah Sakramen. Maka, jelas ada perbedaan yang sangat besar antara perceraian dan proses nulitas perkawinan gerejawi.

Comments

Popular Posts