MOTU PROPRIO MAGNUM PRINCIPIUM


MOTU PROPRIO
MAGNUM PRINCIPIUM
Paus Fransiskus, 3 September 2017
(Terjemahan bebas penulis)

Adanya kebutuhan untuk membaca ulang soal penyesuaian teks-teks liturgi Gereja partikular. Perubahan terjadi pada Kan. 838 § 2 dan § 3. Dalam paragraf 2 Konferensi Waligereja memiliki tanggungjawab yang lebih besar berkaitan dengan bagaimana teks-teks liturgi lokal sungguh-sungguh diterjemahkan dalam bahasa liturgis. Mereka harus sungguh memastikan saduran yang sekaligus “setia pada pedoman umum liturgi” dan “tetap mengekspresikan iman dalam konteks budaya lokal”. Tentu saja hal ini tidak mudah karena kesetiaan pada ajaran iman dan mengimplementasikannya dalam bahasa lokal yang paling “menjawab” iman umat adalah hal yang kompleks! Untuk itu peranan para Uskup diosesan yang paling paham dengan situasi setempat dimaksimalkan. Juga dalam Motu Proprio ini Paus Fransiskus menegaskan bahwa bahasa liturgi adalah bahasa ritual dan misteri, di mana di sana ditemukan Allah yang sedang berbicara kepada umatnya. Karenanya Konferensi Waligereja harus berpijak pada bagaimana terjemahan itu sungguh-sungguh mengungkapkan iman yang sejati.

Tujuan penerjemahan teks-teks liturgi dan teks-teks alkitabiah untuk Liturgi Sabda adalah mewartakan firman keselamatan kepada umat beriman dalam ketaatan dan untuk mengungkapakan doa Gereja kepada Tuhan. Untuk tujuan ini perlu dikomunikasikan kepada orang-orang tertentu yang menggunakan bahasanya sendiri...Sementara kesetiaan tidak selalu dapat dinilai dengan kata-kata individu tetapi harus dicari dalam konteks seluruh tindakan komunikatif dan menurut jenis sastranya, namun beberapa istilah tertentu juga harus dipertimbangkan dalam konteks iman Katolik karena setiap terjemahan teks harus menjadi sejalan dengan doktrin yang benar.”

Sedangkan paragraf 3 penekanan paragraf baru ini juga menuntut konferensi waligereja untuk selalu dengan setia berpijak pada proses penerjemahan menurut aturan-aturan Gereja. Mereka juga baru bisa menyetujui dan menerbitkan buku-buku liturgi untuk daerah di mana mereka memiliki tanggungjawab setelah “dikonfirmasi” oleh Tahta Suci. Di sini ada perubahan dari kata “recognitio”dan “post-confirmationem”. Recognitio di sini berarti Tahta Suci melakukan pemeriksaan dan revisi dengan teliti dan terperinci: untuk menilai legitimitas dan kesesuaian saduran dengan norma-norma kanonik atau norma-norma liturgi universal dari teks-teks yang hendak diterbitkan oleh konferensi waligereja setempat. Sedangkan “post-confirmationem” sebaliknya mengandaikan Tahta Suci tidak perlu terlalu rinci memeriksa teks-teks saduran tersebut (mengandaikan kerja maksimal dari konferensi waligereja), kecuali pada formula teks-teks liturgi sakramental. Tanggungjawab para uskup selaku pemimpin Gereja lokal inilah yang diharapkan oleh Paus Fransiskus sembari mengacu pada SC (36 § 3-4, 40 dan 63). Sebab merekalah yang paling mengetahui situasi dan kebutuhan (rohani) umat setempat.

Kanon Baru

Kan. 838 § 2. Takhta Apostolik berwenang mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi, mengakui saduran yang disetujui oleh Konferensi Waligereja sesuai dengan norma hukum, dan juga mengawasi agar di mana pun peraturan-peraturan liturgi ditepati dengan setia 

§ 3. Konferensi para uskup agar dengan setia mempersiapkan terjemahan buku-buku liturgi ke dalam bahasa-bahasa setempat, sesuai dengan batas-batas yang ditentukan, dan untuk menyetujui dan menerbitkan buku-buku liturgi untuk daerah tempat mereka bertanggung jawab setelah dikonfirmasi (post-confirmationem Apostolicae Sedis) oleh Tahta Apostolik. 

Comments

Popular Posts