Dissolutio Matrimonii non Consummatum


Pemutusan perkawinan yang non consummatum diatur oleh kanon 1142. Apa artinya perkawinan  non consummatum, sebagaimana penggunaanya dalam istilah ini ialah perkawinan yang belum disempurnakan dengan persetubuhan antara keduanya (coniuges inter se). Untuk memahami lebih baik konsumasi yang seperti apa yang dimaksudkan di sini, KHK memberikan penjelasan yang fundamental dalam Kan. 1061 §  1, consummatum dinyatakan dalam tindakan actus coniugalis, ketika suami istri telah melakukan persetubuhan antar mereka, secara manusiawi yang pada sendirinya terbuka untuk kelahiran anak. Kanon yang sama dalam paragraf 2 mengindikasikan actus coniugalis terjadi pasca perkawinan bila mereka tinggal bersama, kecuali dibuktikan kebalikannya.  Dari pemahaman tentang non consummatum itu menarik dilihat bagaimana kompleksitasnya masalah ini. Konsumasi itu harus berpijak pada beberapa hal berikut ini:
a) Relasi konsumasi antara suami-istri harus terjadi secara natural (in modo humano), sebagaimana dalam pemahaman kodrati manusia, dalam semua aspek seksualitas yang diperlukan. Gambaran ini bisa diperjelas dengan pemahaman kopulasi natural diantara keduanya. Antara lain, erectio, penetratio, eiaculatio in vaginam dari pihak suami, dan dari pihak istri adanya receptio in vaginam et retentio et transmissio. Diluar itu maka konsumasi tidak terjadi (diluar proses kopulatif natural suami-istri), misalnya inseminasi artifisial, ereksi dan ejakulasi di luar vagina, dll.
b) Konsumasi dalam sudut yuridis mengandaikan sebuah perkawinan yang sah antara suami dan istri (§  2). Kompleksitas dari paragraf ini secara langsung mengenai aneka problem mengenai persetubuhan di luar perkawinan (juga perkawinan yang cacat atau tidak sah), misalnya persetubuhan di antara mereka yang pacaran, kumpul kebo, perselingkuhan, dll. Pada konsumasi jenis itu maka tidak dipandang sebagai konsumasi.
c) Konsumasi harus terarah pada prokreasi (§ 1) mengandaikan adanya kehendak bebas dari suami-istri untuk mengarahkan tindakan konsumasi mereka melalui kelahiran anak. Konsumasi yang demikian ini, menegasikan konsumasi yang terjadi di bawah paksaan, tekanan, ketakutan, misalnya pemerkosaan, di mana salah satu pasangan “terpaksa” melakukannya di bawah ancaman/ketakutan/ yang nyata-nyata tidak pernah lahir dari kehendak bebas.
Soal jenis perkawinan ratum mana yang non consummatum, yang dapat diputus dalam kanon ini tidak disebutkan secara eksplisit. Karenanya pemutusan perkawinan yang non consummatum dalam kan. 1142 bisa dikenakan pada perkawinan yang matrimonium ratum (antara orang-orang yang dibaptis (Katolik atau non-Katolik) dan matrimonium naturalis (baptis-non baptis, atau non baptis dua-duanya lalu kemudian dibaptis tanpa pernah melakukan hubungan konsumasi setelah baptis).
Perkawinan yang demikian ini dapat diputus oleh Paus atas alasan yang wajar. Pemohon atas pemutusan perkawinan jenis ini dapat dilakukan atas permintaan kedua pihak atau bahkan salah satu dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya. Karenanya permohonan pemutusan ikatan nikah ini adalah sebuah anugerah.
Proses pemutusan ikatan nikah non consummatum bukanlah sebuah proses pengadilan. Tindakan yang dilakukan oleh tibunal ialah tindakan administratif. Proses penyelidikan inconsummatio itu dilakukan demikian:
a. Pengajuan dari pemohon, salah satu atau kedua-duanya.
b. Proses pengumpulan bukti-bukti adanya indikasi fundamental inconsummatio dari sebuah perkawinan. Dilakukan bersama pastor paroki. Jika memang secara nyata dan jelas ditemukan fakta-fakta mengenai inconsummatio, maka surat permohonan diajukan kepada Ordinaris Wilayah (dialamatkan kepada Paus).
c. Ordinaris Wilayah menunjuk seorang instruktor (hakim tribunal, atau seseorang yang memperoleh delegasi khusus) untuk mengkaji, mencermati fakta-fakta, bukti-bukti yang ada tentang inconsummatio dari pengakuan suami-istri, saksi-saksi dan dalam kasus ini entah yang ditunjuk dari instruktor maupun dari para pemohon. Juga sejauh diperlukan, dilibatkan pula seorang ahli (kan. 1578 § 2), entah dokter atau ahli medis. Instruktor lantas membuat penilaian (votum) atas penyelidikan yang dilakukan, terutama mencari dasar fundamental alasan untuk memohon dispensasi pemutusan kepada Paus.
d. Akta proses itu lantas disusun entah dalam bahasa Latin atau dalam bahasa modern lainnya (mis. Inggris/Italia)
Berkas-berkas penyelidikan lalu dikirim ke Tahta Suci, juga dilampirkan salinan votum dari uskup yang mengindikasikan apakah melalui  kemurahan yang diminta tersebut ada kemungkinan terjadinya persoalan baru (sandungan/skandal) yang bisa saja muncul. Maka votum pribadi dari Uskup diosesan menjadi pertimbangan yang penting selain alasan mendasar yang sudah disusun oleh instruktor dalam votum-nya.

Comments

Popular Posts