Privelegium Pianum-Gregorianum
Pemutusan perkawinan demi iman sering juga disebut privelegium pianum karena kemurahan dikeluarkan oleh Paus Pius V dengan konstitusi “Romani Pontificis”. Diatur dalam Kan. 1148-1149. Privelegium ini mengatur dua hal, pada kan. 1148 §1-3 membahas soal pemutusan ikatan perkawinan demi iman bagi mereka yang memiliki lebih dari satu istri atau suami pada saat yang sama (poligami simultan-poliandri simultan) yang ingin bertobat dan dibaptis.
Sedangkan kan. 1149 (dikenal juga dengan privelegium gregorianum karena dicetuskan oleh Paus Gregorius XIII) mengatur soal pemutusan ikatan nikah karena salah satu pasangan mengalami penahanan atau penganiayaan.
Historisitas:
I. Privelegium Pianum (kan 1148) diberikan sebagai kemurahan oleh Paus Pius V mengingat munculnya situasi dimana di daerah misi dunia ke 3 menghadapi kenyatan kongret bahwa budaya poligami dan poliandri telah mengakar. Pada saat yang sama ada banyak dari mereka yang hendak bertobat dan menjadi seorang Katolik. Persoalan muncul berkaitan dengan perkawinan mereka. Banyak diantara mereka yang ingin dibaptis namun tidak ingin tinggal sebagai suami istri dengan ostri atau suami yang terdahulu (yang sah). Mereka ingin memilih salah satu istri atau suami yang lain (kedua, ketiga, e cosi via) sebagai pasangan mereka untuk selamanya. Akhirnya Paus Paulus III menanggapi persoalan pemutusan demi iman ini lewat konstitusi Altitudo, yang mengijinkan mereka dibaptis dan bisa memilih pasangan manapun serta meninggalkan yang lainnya. Paus Pius V melengkapi keputusan dari Paus Paulus III dan mengkanonkannya dalam Hukum Gereja.
II. Privelegium Gregorianum (kan. 1149), Paus Gregorius XIII lewat Konstitusi Populis (1585) menetapkan mereka yang belum dibaptis dan kemudian dibaptis, dan tidak mungkin lagi memulihkan kehidupan bersama dengan pasangannya karena penahanan atau penganiayaan, dapat melangsungkan perkawinan lain, meskipun pihak lain sementara itu sudah dibaptis (dengan tetap memperhatikan kan. 1141). Pada masa itu ada banyak orang-orang Afrika yang dijadikan budak dan tawanan perang di Amerika. Mereka terpisah dari pasangannya dan tidak mungkin lagi bersatu. Maka diputuskan bahwa setelah menerima baptis mereka bisa menikah lagi. Kasus demikian tampaknya sudah tidak begitu dikenal dewasa ini.
Pemutusan ikatan nikah baik petrinum maupun gregorianum dilakukan tanpa interpelasi dan dilaksanakan secara ipso iure (sesuai aturan hukum dan harus dipenuhi seluruh syarat-syarat yang diminta). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ialah:
Privelegium Pianum (Kan 1148 §1-3) :
a) Hanya terjadi pada perkawinan seorang poligami infedeles (tak baptis) yang memiliki beberapa pasangan tak baptis secara serentak
b) Suami yang bertobat dan dibaptis itu merasa kesulitan untuk hidup dengan istri yang pertama dan memilih salah satu dari istrinya yang lain
c) Setelah dibaptis, perlu diadakan pembaharuan perkawinan (convalidatio simplex) sesuai dengan tata peneguhan kanonik, jika istri yang dipilihnya itu tidak dibaptis maka perlu diterapkan norma-norma mengenai perkawinan beda agama (disparitas cultus)
d) Soal moralitas: perlu diperhatikan bagaimana kehidupan pasangan/istri pertama atau istri-istri lain dan anak-anak yang ditinggalkan sesuai semangat cinta kasih dan keadilan serta kewajaran kodrati. Soal ekonomi, keadaan sosial-moral.
Privelegi Gregorianum (Kan 1149):
a. Hanya terjadi pada sebuah perkawinan (dua-duanya infedelis/tak baptis) di mana salah satu pasangan mengalami penahanan atau penganiayaan, dan membuat mereka tidak mungkin memulihkan hidup bersama lagi
b. Dalam perjalanan selanjutnya, salah satu pasangan itu dibaptis.
c. Jika pada saat yang sama (sementara itu) pihak yang sudah terpisah juga dibaptis, maka berlaku Kan. 1141, karena perkawinan mereka yang terdahulu menjadi ratum et non-consummatum.
Kedua privelegium ini demi licitnya perlu memperoleh nihil obstat dari Ordinaris Wilayah untuk memastikan bagaimana pelaksanaan ipso iure benar-benar terjadi dan dipenuhi.
Comments
Post a Comment