Kasus Perkawinan I: Hamil sebelum menikah

Tanya
Jawab
Kanon
Apakah boleh pasangan yang sudah atau sedang hamil di berkati pernikahannya?

Pertama, harus diselidiki terlebih dahulu, apa alasan pernikahan itu dilangsungkan. Apakah betul-betul merupakan sebuah keputusan untuk membentuk persekutuan dalam hidup mereka, atau hanya sekedar untuk menutup aib/demi nama baik saja. Hal ini sangat penting mengingat kehamilan tidak boleh dijadikan alasan sebuah perkawinan!
Kedua, jika hanya untuk menutup aib, maka jangan diberkati, karena mungkin kehamilan itu terjadi karena proses ketidaksengajaan, jauh dari rasa cinta dan tidak memiliki fondasi cinta yang secara langsung terarah kepada perkawinan. Tidak ada kebebasan diantara keduanya untuk menikah, mereka hanya berada dalam situasi tersudutkan. Karena jika tetap dilanjutkan perkawinan yang demikian bisa saja mengindikasikan persoalan berat berikutnya yakni pada defectus consensus/cacat kesepakatan nikah, misalnya pihak keluarga wanita memaksa pihak laki-laki yang menghamili untuk bertanggungjawab, dan pada saat yang sama pihak yang berada dalam ketakutan berat itu tidak memiliki opsi lain selain menerima perkawinan tersebut dalam keadaan terpaksa.
Ketiga, jika kehamilan itu terjadi antara dua pasang kekasih yang sejak semula sudah merencanakan perkawinan dan mereka sendiri sudah kenal lama, apalagi misalnya sudah bertunangan, kasus kehamilan ini bisa dilihat sebagai situasi yang “mempercepat” pernikahan yang mereka canangkan sebelumnya. Maka, tidak menjadi soal jika hubungan mereka diteruskan ke jenjang perkawinan asalkan pastor paroki sudah memiliki kepastian tentang hal itu dan juga mendampingi serta sekaligus membekali mereka dengan baik menuju pada jenjang perkawinan Katolik.
Keempat, jika pastor paroki berada dalam keragu-raguan yang wajar, hendaknya meminta mereka untuk menunda dulu perkawinan mereka, sambil melihat apa yang terjadi setelah kedua pasangan memiliki anak. Apakah memang ada itikad baik dari keduanya untuk terus hidup bersama atau tidak, segaligus menjadi kesempatan untuk mereka saling mendewasakan. Jika memang terbukti mereka mau sungguh-sungguh untuk terus hidup bersama, maka perkawinan itu bisa dilaksanakan secara gerejawi.
Kan. 1103, Kan. 1055 § 1 dan Kan. 1057 § 2.

Comments

Popular Posts