Privelegium Paulinum
Pemutusan perkawinan privelegium paulinum diatur di dalam kan. 1143-1147. Di sebut privelegium paulinum, karena memiliki dasar teologis dari ajaran Rasul Paulus dalam 1 Kor. 7, 12-16. Secara historis dapat dikatakan bahwa praktek ini sudah dijalankan sejak masa Rasul Paulus ketika ia mengajukan pendapat pastoral (kerasulan) tentang perkawinan. Menarik jika disimak isinya:
Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?
Paulus mengajarkan bahwa seorang yang dibaptis (fidelis) entah pihak suami atau istri, ketika mereka memiliki pasangan yang tidak dibaptis (infedelis) dan mereka mau hidup bersama-sama, maka tidak ada alasan untuk berpisah di antara mereka. Bahkan dengan itu menjadi kesempatan bagi yang dibaptis untuk menguduskan pihak yang tidak dibaptis, dan tidak ada efek untuk anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, sebab anak-anak itu juga kudus. Namun sebaliknya, jika pihak infideles pergi dan hendak menceraikan mereka, maka mereka dapat berpisah.
Maka, privelegium paulinum bisa disebut privelegium iman, diadakan demi salah satu pihak Katolik, yang dalam arti sempit adalah mereka yang hendak bertobat menjadi Katolik (dibaptis), demi perkawinan dan demi iman anak-anaknya. Karena itu, perkawinan ini hanya terkena bagi dua pihak infidelis, (suami istri yang tidak dibaptis) yang mana salah satunya bertobat dan dibaptis. Demi pihak yang dibaptis inilah privelegium ini dilakukan. Namun demikian privelegium paulinum harus dilakukan secara ipso iure (menurut syarat dan ketentuan hukum). Maka perlu diperhatikan syarat berikut ini:
A. Perkawinan yang hendak diputus ialah perkawinan antara dua orang tidak baptis (infideles) berdasarkan kanon 1143 § 1.
B. Pada perkawinan yang sama, kemudian salah satu pihak dibaptis, sedangkan yang lain tetap bertahan pada keyakinannya imannya (tetap infedelis)
C. Kepergian pihak tak baptis (infedelis) entah secara fisik, meninggalkan pasangan yang dibaptis, atau secara moral-iman, tidak mau hidup bersama dengan damai tanpa menghina Sang Pencipta (kan 1143 § 2).
D. Dilaksanakan interpelasi kepada pihak infedelis untuk memastikan apakah ia sendiri mau dibaptis atau mau sekurangnya hidup bersama dengan damai dengan pihak yang dibaptis tanpa menghina Sang Pencipta (Kan 1144 § 1). Interpelasi harus dilakukan setelah baptis, namun dalam kasus partikular ordinaris wilayah bisa mengijinkan interpelasi sebelum baptis, atau bahkan memberikan dispensasi untuk tidak diadakan interpelasi jika interpelasi tidak dapat dilakukan atau tidak ada gunanya (§ 2). Interpelasi pada umumnya dilakukan oleh ordinaris wilayah atau bisa pula dikerjakan oleh pihak yang dibaptis (secara sah dan licit) jika ordinaris wilayah tidak mungkin melakukannya (Kan. 1145 § 1 dan 2). Interpelasi yang sudah diadakan itu harus bisa dibuktikan dalam tata lahir entah menyangkut pelaksanaannya ataupun hasilnya (ada bukti dalam forum externum, §3) misalnya dokumen fisik yang disertai tandatangani pihak yang diinterpelasi juga dengan saksi. Di Indonesia acapkali hal ini tidak dilakukan mengingat perkara interpelasi sangat sensitif (soal iman, sebagai minoritas, dll).
E. Hak untuk melangsungkan perkawinan baru dengan pihak Katolik diperoleh oleh pihak yang dibaptis asalkan jawaban dari interpelasi itu negatif atau secara legitim interpretasi tidak dilakukan (kan. 1146 1°) atau pada awalnya ada jawaban positif untuk tinggal bersama tanpa menghina Sang Pencipta, namun dalam perjalanan pihak infedeles pergi tanpa alasan yang wajar (2°). Bagaimana jika pihak yang dibaptis hendak melangsungkan perkawinan dengan pihak non Katolik atau bahkan pihak tak baptis? Kan 1147 menyatakan hanya alasan berat saja ordinaris wilayah dapat mengijinkan mereka yang menerima privelegium paulinum ini untuk melangsungkan perkawinan demikian sesuai ketentuan kanon perkawinan campur.
Pemutusan perkawinan baru terjadi bukan ketika pihak yang dibaptis menerima baptisan, juga bukan pada saat interpelasi dilakukan, melainkan finalitas pemutusan privelegium paulinum terjadi ketika dilangsungkannya perkawinan baru.
Comments
Post a Comment