Dissolutio Matrimonii Ratum et Consummatum
Sebagaiamana sifatnya yang tak terceraikan (indissolubilitas), maka sebuah perkawinan yang sah di mata Gereja juga tidak bisa diputuskan secara intrinsik dan ekstrinsik, apalagi sebuah perkawinan yang ratum et consummatum (Kan. 1141). Perkawinan disebut ratum jika perkawinan itu memiliki syarat-syarat keabsahan di dalamnya (misalnya tidak terhalang oleh halangan apapun atau tidak memiliki cacat hukum). Sedangkan perkawinan consummatum adalah perkawinan yang sudah dilengkapi dengan proses persetubuhan di antara kedua pasangan pasca peneguhan perkawinan. Untuk perkawinan jenis ini maka tidak ada suatu kuasa apapun yang dapat memutus ikatannya, kecuali oleh kematian dari salah satu pasangan. Hal ini juga menegaskan bahwa sifat ketidakterceraikan itu absolut (indissolubilitas absoluta).
Pedoman dalam membaca kanon ini (1141) mencakup dua hal:
1) Jelas, bahwa sebuah perkawinan yang sah di mata hukum gerejawi mempunyai ikatan yang penuh dan mutlak setelah dilengkapi dengan proses consummatum. Maka apa yang sah tetap sah! Jika muncul pertanyaan seputar mengapa ada proses nulitas perkawinan dalam Gereja maka perlu diingat bahwa perkawinan yang dianulasi selalu adalah perkawinan yang ternyata tidak ratum (tidak sah sejak semula) atau dalam sedikit kasus belum dilengkapi dengan proses consummatum. Di luar itu tidak pernah ada pemutusan perkawinan yang nyata-nyata ratum dan consummatum.
Lantas bagaimana yang terjadi dengan aneka pemutusan perkawinan di dalam Gereja, misalnya pemutusan dengan aneka privelegi? Apakah Gereja mengabaikan kanon ini? Pemutusan dalam aneka jenisnya itu hanya terjadi pada perkawinan di luar cakupan “ratum et consummatum”. Inilah konsekuensi dari istilah perkawinan ratum et consummatum. Pada kasus-kasus di luarnya, hanya otoritas Gereja yang memiliki kuasa ekstrinsik untuk memutuskan aneka perkawinan non ratum et consummatum atau ratum et non consummatum sejauh dalam batas-batas dan alasan-alasan yang benar.
Comments
Post a Comment