MOTU PROPRIO OMNIUM IN MENTEM


MOTU PROPRIO
OMNIUM IN MENTEM
Paus Benediktus XVI, 26 Oktober 2009
(Terjemahan bebas penulis)

Adanya kebutuhan untuk mengamandemen dua tema besar terkait dengan Sakramen Tahbisan dan Sakramen Perkawinan dalam buku IV Kitab Hukum Kanonik.
1. Perubahan pada Kan. 1008 dan tambahan satu paragraf pada Kan. 1009. Perubahan ini menyangkut bagaimana tugas dan peranan uskup, imam dan terutama diakon diperjelas dalam hukum kanonik. Kebutuhan ini sudah dirasakan sejak masa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II. Gereja terdiri dari umat Allah yang menerima imamat umum dan sekaligus bagi mereka yang secara khusus tergolong dalam jabatan klerus menerima imamat khusus. Dalam hal ini distingsi kaum klerus perlu dipertegas, bagaimana fungsi dari jabatan episkopat, presbiterat dan diakonat seturut ajaran resmi Gereja terutama dalam dokumen Lumen Gentium.

2. Perubahan dalam kanon-kanon perkawinan atas kalimat “dan tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal”. Karena sakramen adalah sama untuk seluruh Gereja, otoritas tertinggi Gereja sendiri berkompeten untuk menyetujui atau menentukan apa yang diperlukan untuk keabsahannya dan untuk menentukan ritus yang perlu dicermati dalam perayaan sakramen-sakramen (kan. 841). Namun KHK sendiri menegaskan bahwa mereka yang meninggalkan iman dengan suatu tindakan formal, tidak terkena hukum kanonik gerejawi (kan. 1117).

3. Konsekuensinya ialah mereka yang meninggalkan iman dalam suatu cara formal ketika perkawinannya hendak di sahkan oleh Gereja maka diperlukan dispensasi disparitas cultus (kan. 1086 § 1), juga memerlukan ijin dalam perkawinan campur (kan. 1124). Dalam perjalanan, banyak persoalan yang mucul berkaitan dengan kanon-kanon di atas. Ada kesulitan menerapkan pengertian yang tepat soal “meninggalkan secara formal” baik dari sisi teologis maupun kanonik. Belum lagi muncul aneka kesulitan praktis di medan pastoral. Misalnya di tempat dimana umat Katolik adalah minoritas, juga berkitan dengan sistem regulasi perkawinan yang tidak adil (masalah diskriminasi agamis). Muncul juga persoalan besar ketika frasa ini menyulitkan jika ada seorang Kristiani yang ingin kembali ke pangkuan Gereja setelah perkawinannya yang terdahulu itu gagal. Maka dari itu lewat Motu Proprio ini diputuskan untuk “menghapus” semua kalimat tersebut.

Maka, berikut adalah kanon-kanon baru dari amandemen ini:

Kan. 1008 Dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin atas dasar yang baru dan khusus. 

Kan 1009 § 3. Mereka yang ditetapkan dalam jabatan episkopat dan presbiterat menerima perutusan dan kapasitas untuk bertindak dalam pribadi Kristus Kepala, sedangkan para diakon diberi kuasa untuk melayani umat Allah dalam pelayanan-pelayanan liturgi, sabda dan amal kasih.

Kan. 1086 § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.

Kan. 1117 Tata peneguhan yang ditetapkan diatas harus ditepati, jika sekurang-kurangnyasalah seorang dari mempelai telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 1127, § 2.

Kan. 1124 Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

Comments

Popular Posts